My Humanity Project - ADVENTURE INKLUSI - NAIKLIU, AMFOANG UTARA, KABUPATEN KUPANG (17-20 DESEMBER 2024)
Perjalanan menuju Amfoang Utara untuk menemui Jitron dan keluarganya. Berawal dari kebun Kopi Leloboko yang berlokasi di dekat bukit indah Lelogama. Kelompok Tani “Titbok”, beranggotakan 27 orang, dengan komoditi yang mereka tanam adalah tanaman pangan dan salah satunya Kopi. Berlokasi di keluarahan Lelogama, kecamatan Amfoang Selatan, kabupaten Kupang dan ketua mereka adalah Yahuda Baisila. Saya menginap di rumah pak Yahuda dan berteman dengan anaknya yang Bernama Efer. Saya tiba di rumah mereka pada pukul 12.25 malam, dikarenakan saya berangkat dari kota Kupang pada pukul 9 malam. Setibanya di bukit Lelogama, saya dijemput oleh anaknya Efer dan langsung menuju ke rumah mereka. Berlanjut ke perkenalan Bersama dengan anaknya, karena memang kami baru saja bertemu dan selama ini hanya berkabar melalui WhatssApp saja. Sambil menikmati segelas Kopi hitam, kami bercerita dan berbagi pengalaman. Setelah minum Kopi langsung kami tidur.
Berlanjut pagi harinya saya
diajak berkeliling di kebun Kopi mereka oleh kedua anak mereka, sembari melihat
mereka menanam anakan Kopi di lahan yang sudah mereka siapkan sebelumnya.
Setelah selesai melihat proses mereka menanam anakan pohon Kopi, saya dijamu
makan oleh keluarga mereka dan setelah itu saya melanjutkan perjalanan menuju
bukit Lelogama untuk berkemah. Semalam berkemah di bukit Lelogama, lalu saya
melanjutkan perjalanan ke rumah salah satu teman saya yang berlokasi di ujung
Utara Amfoang. Kami berkelanan lewat Tik Tok yang mana dia sedang bekerja di
Bali dan memang setelah berkenalan kami jadi teman dekat hingga bertemu
beberapa kali jika saya sedang berkunjung ke Bali. Karena sedang berada di
Amfoang dan tepat pada hari itu ayahnya berulang tahun, sehingga teman saya
mengundang saya untuk mengikuti perayaan ulang tahun ayahnya. Perjalanan dari
Amfoang Selatan menuju Amfoang Utara cukup melelahkan. Karena saat ini kita
sedang memasuki musim hujan, sehingga saya pergi ke sana dengan kondisi yang sedang
hujan dan jalan menuju kesana melewati gunung Timau yang mana jalannya juga
tidak benar-benar aspal bagus. Jalanan tersebut masih banyak bebatuan lepas,
ada juga jalanan lumpur dan sekitar 30an KM untuk mencapai Amfoang Uatara.
Setibanya dirumah teman saya,
saya langsung dijamu dengan kopi hitam dan lalu makan malam Bersama keluarga
teman saya untuk merayakan ulang tahun ayah teman saya. Saya banyak mendengar
cerita mereka terkait beberapa tantangan yang mereka sering alami di musim
hujan seperti ini. Salah satunya adalah akses menuju kota yang sulit
dikarenakan kali yang banjir. Karena, jika ingin pergi ke kota, mereka harus
melanggar beberapa kali besar yang jika musim hujan maka kali tersebut bisa
meluap dan menyebabkan banjir yang memiliki debit air yang kuat dan deras. Jika
musim hujan dan pasokan makanan dan minuman di kios sekitar habis, maka mereka
bisa mengalami musim kelaparan – atau juga, harga bisa naik beberapa kali lipat
dari harga normal.
Itulah alasan yang membuat teman
saya dan kebanyakan anak muda di desa Naikliu yang mana, mereka sangat nyaman
untuk bekerja di perantauan karena jika mereka Kembali ke desanya, mereka bisa
saja kesulitan dalam menghidupi dirinya dan keluarganya.
Selesai dari desa saya, saya
harus Kembali ke Kupang karena saya memiliki jadwal kerja sebagai Juru Bahasa
Isyarat (JBI) Bersama dengan Komunitas Tuli Kupang (KTK) di acara terkait
ketenagakerjaan Difabel di NTT dan kegiatannya berlangsung di Car Free Day atau
yang biasa di sebut Masyarakat kota Kupang dengan istilah CFD.
Cerita menarik diperjalanan
pulang dari desa Naikliu Kembali ke Kupang. Ceritanya terjadi saat saya sedang
dalam keadaan yang cukup kesulitan dengan jalanan yang berlumpur dan berbatu.
Saya bertemu dengan seorang nenek tua di Tengah hutan gelap dan gerimis, dengan
kondisi sedang duduk melipat kedua kakinya dan kedinginan. Dia sempat berkata
kepada saya saat saya bertanya “Apa yang nenek lakukan disini?”, lalu dia
bilang “Saya tidur disini”. Saya bertanya lagi “Memangnya, rumah Nenek
Dimana?”, dan dia menjawab “Rumah Nenek disana” sambil menuju ke arah hutan.
Lalu Nenek melanjutkan lagi dengan berkata “Tolong antar Nenek pulang?”. Saya
sangat takut waktu itu dan dalam pemikiran saya bahwa Nenek ini akan merampok
saya. Spontan saya langsung pergi meninggalkan Nenek tersebut. Dengan rasa
takut saya mengendarai motor sangat cepat dan tidak memperhatikan lagi jalanan
yang berbatuan atau berlumpur. Setelah bertemu dengan jalanan aspal, saya
berhenti sejenak di sebuah warung dan membeli segelas Kopi sambil bercerita
dengan pemilik tempat tersebut terkait kejadian bertemu seorang Nenek tua di
Tengah hutan tadi. Lalu, spontan pemilik dari Kios tersebut berkata bahwa yang
saya temui itu bukanlah manusia, melainkan hantu. Saya tidak takut, hanya saja
saya masih memikirkan factor-faktor lainnya seperti “Bagaimana jika nenek
tersebut merupakan seorang ODDP (Orang Dengan Disabilitas Psikososial)” atau “Bagaimanana
jika nenek tersebut benar-benar membutuhkan pertolongan?” konsep lainnya dalam
otak saya adalah “Saya akan dirampok, saat ia meminta saya mengantarkannya
pulang, bagaimana jika ada komplotan yang sudah menunggu saya di hutan dan siap
untuk merampok semua barang yang saya miliki?”
Well, berakhirlah di jam 00.00 dan saya memutuskan untuk segera Kembali ke kota
Kupang, karena baterai HP saya juga dalam kondisi sekarat sehingga saya harus
buru-buru mencari tempat untuk bisa mengisi daya baterai HP.
Komentar
Posting Komentar