My Humanity Project - Cerpen " Kami Teman Tuli, Jangan Kalian Menjadi Tuli dengan Kesulitan Kami"

 Kami Teman Tuli, Jangan Kalian Tuli dengan Kesulitan Kami

Dohe, seorang anak laki-laki berusia 20 tahun dengan sepasang mata dan senyum yang selalu ceria, sedang menikmati liburan di kampung halamannya di Pulau Sabu. Dohe berbeda dari teman-temannya yang lain, ia seorang teman Tuli. Menjadi teman Tuli di pulau kecil itu memberikan Dohe banyak sekali tantangan dan minimnya akses baginya, ia harus bersekolah di kota yang jauh dari kampung halamannya. Di sana, ia bisa menemukan sekolah yang inklusif dan fasilitas serta pelayanan yang jauh lebih baik dari tempat ia berasal.

Sabu, pulau kecil yang penuh dengan keindahan alam, selalu menjadi tempat favorit Dohe untuk melepas penat. Di sini, ia bisa bermain bersama teman-temannya, membantu orang tua di ladang, dan menikmati makanan tradisional. Namun, kebahagiaan Dohe harus berakhir ketika waktu liburan hampir selesai. Ia harus kembali ke kota untuk melanjutkan sekolah.

Hari keberangkatan pun tiba. Dohe sangat sedih harus meninggalkan kampung halamannya. Ia menghampiri neneknya yang sudah tua dan memeluknya erat. Dengan bahasa isyarat, ia mengucapkan terima kasih atas semua kasih sayang yang telah diberikan neneknya.

"Nenek, Dohe sayang Nenek," ekspresi Dohe menunjukan hal tersebut dan Neneknya yang sudah dari kecil merawatnya, sangat memahami itu.

Saat hendak berangkat ke pelabuhan, Dohe mengendarai motor bersama neneknya. Ayahnya membonceng sepupunya yang juga akan kembali ke kota. Namun, takdir berkata lain. Di tengah perjalanan, motor yang Ayah dan sepupunya tumpangi mengalami kecelakaan. Ayahnya meninggal seketika, sementara sepupunya mengalami luka parah dan tak sadarkan diri.

Dohe yang shock melihat kejadian itu, berusaha sekuat tenaga untuk meminta pertolongan. Dengan bahasa isyarat Indonesia (BISINDO), ia memohon kepada orang-orang yang berkerumun di sekitar tempat kejadian kecelakaan untuk menolong ayah dan sepupunya. Namun, sayangnya, tidak ada seorang pun yang mengerti bahasa isyarat Indonesia (BISINDO). Mereka hanya menatapnya dengan tatapan iba dan merekam kejadian tersebut dengan ponsel mereka.

Dohe merasa sangat sedih dan kesepian. Ia ingin sekali berteriak sekencang-kencang agar orang-orang dapat mengerti apa yang sedang ia alami. Namun, suaranya tak keluar. Air matanya terus mengalir membasahi pipinya – Sambil duduk diatas bukit cinta, di kota Kupang. Dohe menangis dalam kesendirian sambil menunggu matahari terbenam dan gelap menyelimutinya. Semua kenangan buruk itu masih membekas dan berharap bahwa suatu hari nanti, semakin banyak orang yang bisa memahami bahasa isyarat Indonesia (BISINDO) yang merupakan salah satu alat komunikasi dari teman-teman Tuli di Indonesia.

Pesan Moral:

Cerita Dohe mengingatkan kita akan pentingnya inklusivitas dan empati. Kita hidup dalam masyarakat yang beragam, dengan berbagai ragam dan perbedaan. Setiap individu berhak mendapatkan perlakuan yang sama dan kesempatan yang setara.

Sebagai manusia, kita harus saling menghargai dan menghormati perbedaan. Jangan pernah meremehkan orang lain, apalagi mereka yang memiliki keterbatasan. Mari kita belajar untuk lebih peka terhadap lingkungan sekitar kita dan selalu siap membantu sesama.

**Notes : Cerpen ini berdasarkan kisah nyata yang dialami oleh seorang teman Tuli yang berasal dari Provinsi Nusa Tenggara Timur.



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Meokono Waterfall, TTS - East Nusa Tenggara

SEKOLAH LUAR BIASA (SLB) BELUM INKLUSIF BAGI TEMAN TULI